Sejarah
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi diKota Yogyakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah
menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih
berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi
kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek
wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museumyang menyimpan berbagai koleksi
milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika
pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah
satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan
serta paviliun yang luas.[1]
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pascaPerjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggarahan[2] yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan diImogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan
sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman[3].
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks
inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan
Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan
Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan)[4][5]. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai
warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
UNESCO
Arsitektur umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari
halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta
pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain
dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol[11] yang
biasanya bergaya Semar Tinandu[12] .
Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap
gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono.
Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih
terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu
terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina.
Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau
derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding
dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang
berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya
bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium.
Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna
merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta
tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau
hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang
lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna
senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur
Tangkil) memiliki ornamen Putri
Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah
tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu
dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun
dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau
dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada
bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi[13]. Pada bangunan tertentu dilengkapi
dengan batu persegi yang disebut Selo
Gilang tempat menempatkan
singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung
pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama
misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya,
memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas
dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan
tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat
dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks
Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang
terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak
seperti pertahanan yang berlapis[16]. Pada zamannya konon Pangurakan
merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota
bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[17].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu
Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet[18]. Gapura Gladhag dahulu terdapat di
ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun
sekarang ini sudah tidak ada[19]. Di sebelah selatannya adalah
Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama
jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat
Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan
Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga
masih berdiri[20]. Selepas dari Gapura Pangurakan
terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks
Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[15] yang
terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak
seperti pertahanan yang berlapis[16]. Pada zamannya konon Pangurakan
merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota
bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan[17].
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu
Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet[18]. Gapura Gladhag dahulu terdapat di
ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun
sekarang ini sudah tidak ada[19]. Di sebelah selatannya adalah
Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama
jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat
Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan
Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga
masih berdiri[20]. Selepas dari Gapura Pangurakan
terdapat Kompleks Alun-alun Ler.
Mesjid Gedhe Kasultanan
Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya
Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks
Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang
tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk
berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap
bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan
utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat
dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan
sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura.
Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah.
Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk
dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi
dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi
terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang
hendak masuk masjid.
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang
ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan
tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang
dinamakan Pagongan.
Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan
yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat
upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan Kidul untuk gamelan
sekati KK Guntur Madu. Di
barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang
digunakan dalam upacara Jejak
Boto[29] pada upacara Sekaten pada tahun Dal.
Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu[30] di sebelah utara masjid dan pemakaman
tua di sebelah barat masjid.
Kompleks Pagelaran
Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag Rambat[31]. Pada zamannya Pagelaran merupakan
tempat para punggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang
sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping
untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal
Pemandengan terletak di sisi
jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan
untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.
Sepasang Bangsal
Pasewakan/Pengapit terletak
tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para
panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor
kepada beliau kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba[32]. Sekarang digunakan untuk
kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat,
prajurit keraton dan lainnya). Bangsal
Pengrawit yang terletak di
dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan
untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi
dengan relief perjuangan Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah
digunakan oleh Universitas Gadjah
Mada sebelum memiliki
kampus di Bulak Sumur.
Siti Hinggil Ler
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat
Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk
menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Univ. Gadjah Mada.
Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang
untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti
Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus
fagiferus; famili Papilionaceae).
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara
Siti Hinggil terdapat dua Bangsal
Pacikeran yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertolulut dan Singonegoro[34] sampai
sekitar tahun 1926.
Pacikeran barasal dari kata ciker yang berarti tangan yang putus.
Bangunan Tarub Agung terletak tepat di ujung atas jenjang
utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para
pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur
laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal
Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem
Kori danabdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan
permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
Bangsal Manguntur Tangkil terletak
di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka
yang disebut Tratag
Sitihinggil[35]. Bangunan ini adalah tempat Sultan
duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti
pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik
menjadi PresidenRepublik
Indonesia Serikat. Bangsal
Witono berdiri di selatan
Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil
ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan
lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan[36].
Bale Bang yang
terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk
menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK[37] Guntur
Madu dan KK Naga Wilaga. Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag
Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.
Kamandhungan Lor
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang
membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri
dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol
Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur
dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka
pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam keadaan
tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton
sehari-hari melalui pintu Gapura
Keben di sisi timur dan barat
kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut Keben karena di halamannya ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang berada di tengah-tengah halaman
merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812)
bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati
dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan
digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga
kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan
sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan
para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua
bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
Sri Manganti
Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah
selatan kompleks Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada
dinding penyekat terdapat hiasan Makara
raksasa. Di sisi barat kompleks terdapat Bangsal
Sri Manganti yang pada
zamannya digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan.
Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa pusaka keraton yang berupa alat
musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk penyelenggaraan even
pariwisata keraton.
Bangsal Traju Mas yang
berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat
mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan
tempat ini menjadi balai pengadilan (?). Tempat ini digunakan untuk menempatkan
beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah
runtuh pada 27 Mei 2006 akibat gempa bumi yang mengguncang DIY
dan Jawa Tengah. Setelah proses restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya
pada awal tahun 2010 bangunan ini telah berdiri lagi di tempatnya.
Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua
pucuk meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti
berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton,
gedung Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya.
Kedhaton
Pintu
Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks
Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur
terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung
lambang kerajaan, Praja Cihna[40].
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton
seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; familiSapotaceae).
Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter).
Bagian pertama adalah Pelataran
Kedhaton dan merupakan bagian
Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para
istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian
putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya
terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang
menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan
berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan.
Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag
Bangsal Kencana yang dahulu
digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan
yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di
dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan,
dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso
berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah
bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta.
Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan
sampai Sultan HB IX.
Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini
dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[41].
Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di
dalam keraton, Gedhong
Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan.
Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini
dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini
digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro[42].
Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal
Kotak[43], Bangsal Mandalasana[44], Gedhong Patehan[45], Gedhong Danartapura[46], Gedhong Siliran[47], Gedhong Sarangbaya[48], Gedhong Gangsa[49],
dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.
Keputren merupakan
tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat
khusus untuk beribadat[50] pada zamannya tinggal para puteri raja
yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali
didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat
tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian
Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even
pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal
kuda yang dikendarai oleh Sultan.